Tentang Malam 'Nishfu Sya'ban' -Terdapat banyak hadis menyebutkan keutamaan malam pertengahan Sya’ban. Setidaknya, tiga riwayat masing-masing dari Aisyah, Mu’adz bin Jabal, dan Ali bin Abi Thalib.
Hadis-hadis itu menegaskan bahwa di malam tersebut, Allah SWT akan turun ke langit bumi, lalu membuka pintu ampunan selebar-lebarnya.
Sebagian hadisnya memang lemah. Tetapi, rentetan hadis yang tidak tergolong palsu tersebut saling menguatkan satu sama lain. Maka, sayang bila melewatkan masa itu tanpa menghidupkannya.
Bahkan, dosen UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Syariah dan Hukum KH Muhammad Bukhori Muslim mengatakan, ada hadis sahih riwayat Abu Bakar yang menjelaskan bahwa pada pertengahan Sya’ban (nishfu Sya’ban), Allah akan mengampuni seluruh makhluk, kecuali orang yang berbuat musyrik dan sedang bertikai.
Ia mengatakan, anjuran menghidupkan malam tersebut memang tidak ada, tapi ada ayat yang menunjukkan agar kita memperbanyak amalan agar bisa diampuni.
Membaca surah Yasin ataupun al-Ikhlas secara khusus di malam itu juga tidak ada dalilnya. Namun, ustaz yang juga anggota Komisi Pengkajian Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat ini mengatakan, selama berniat untuk meraih ampunan Allah maka tak jadi soal.
Menghidupkan Sya’ban pun boleh dilakukan secara berjamaaah dan boleh pula dilakukan secara sendiri-sendiri. Misalkan, digelar dalam satu majelis. Namun, niatnya harus untuk beribadah, bukan hanya untuk ber-nishfu Sya’ban.
Hadist shahih dari Imam Ahmad mengatakan bahwa Sya’ban merupakan bulan saat catatan amal diangkat kepada Allah SWT. Karena itu, Rasulullah memperbanyak puasa sunah sebab beliau ingin dilaporkan dalam keadaan beribadah.
Di luar Ramadhan, Rasul tak pernah berpuasa sebanyak yang dilakukannya di Sya’ban. Namun, berpuasa tetap niat untuk puasa sunah, bukan untuk puasa nishfu Sya’ban.
Sebab, tak ada dalil yang secara khusus menyebutkan puasa tersebut mesti diniatkan untuk pertengahan Sya’ban. Rasul hanya mencontohkan puasa sunah di Sya’ban dan boleh dilakukan kapan saja.
Dengan demikian, wajar bila muncul anggapan bid’ah terkait aktivitas pertengahan Sya’ban itu. Ini mengingat, minimnya pengetahuan sebagian kalangan yang mengkhususkan, lalu mewajibkan amalan hanya di Sya’ban. Jika ada unsur mewajibkan, rentan masuk kategori bid’ah yang dilarang.
Ia menyarankan agar perbedaan pendapat ini diluruskan dengan memberi pemahaman kepada mereka bahwa cukup mengganti niat beribadahnya, bukan secara khusus dan mesti untuk pertengahan Sya’ban. Itu agar amalannya tetap mendapatkan keutamaan.(Ramadhan Tahun 2013)
Posting Komentar